Oleh: Iwan | 12 Januari 2011

Aku kembali ke Papua


Follow kakakIWAN on Twitter

Aku kembali ke Papua…

Akhir 2010 dan awal tahun 2011 aku telah kembali menapakkan kaki di tanah ini. Tanah yang pernah memberi kedewasaan dalam berpikir, kematangan dalam bertindak, kegetiran dalam kesepian, kesakitan dalam peperangan dan senyum di akhir kemenangan.

Melanjutkan tulisan yang terbengkalai lama, hari ini aku akan lanjutkan sedikit cerita ini.

November 2010, sebuah kabar terkirim dari pesan BBM (Blackberry Messenger) dari kawan lawa, kakak seperjuangan di tanah Papua. Boss di company dulu waktu di Papua, sedang membutuhkan tenaga dan pikiranku untuk membantu proyek yang ‘seret’ di Papua, tepatnya di Papua Barat, untuk urusan migas. Hm, satu tantangan yang tidak akan aku lewatkan, karena Papua adalah taman bermainku, my other playground.

Singkat kata, setelah bertemu dengan boss dan manajemen, aku sepakat untuk pindah kantor di bulan Desember 2010, meninggalkan mainan online (digital) dan kembali ke pepohonan nan hijau nun jauh di timur sana. Setelah urusan resignation beres, maka awal Desember 2010 aku segera saja mulai melakukan persiapan untuk menjejakkan kaki di papua Barat, tepatnya di Manokwari kemudian Fakfak dan Teluk Bintuni. Hm, belum pernah ke sana sebelumnya. Namun yang terbayang hanya kesenangan akan hijaunya hutan, keritingnya rambut dan hitamnya kulit, serta mengkilapnya dollar. Ahay, ini sudah pasti lah. Tapi, uang bukanlah tujuan utamaku. Tujuanku ke Papua, adalah untuk memuaskan dahagaku akan petualangan, meski motif ekonomi tetap menyertai, karena aku punya tangggungan keluarga yang musti dihidupi.

Ternyata persiapan dan urusan kantor di Jakarta agak lumayan panjang, sehingga aku baru bisa berangkat ke Papua Barat tepat Natal 2010, di tanggal 25 Desember 2010 jam 03.00 dinihari. Menumpang pesawat Singa Udara, transit di Ambon pukul 08.00 WIT dan langsung pindah pesawat ATR-Wings Air menuju Fakfak terlebih dahulu. Hm, Fakfak, nama kota yang berasal dari bahasa daerah yang berarti lapisan atau berlapis lapis, yang memang cocok dengan kontur tanah dan batuan yang berlapis lapis. Lapisan batuan ini cukup mencolok dan mencuat di permukaan, di kota kabupaten Fakfak dekat Pelabuhan.

Penerbangan dari Ambon menuju Fakfak, ditempuh sekitar 45 menit. Dengan pesawat ATR-72 yang berkapasitas hingga 78 penumpang, yang sepertinya selalu penuh. Mendarat di lapangan terbang, yang bernama Bandara Torea Fakfak, terasa menegangkan. Dengan jarak runway yang cukup terbatas, sekitar 800 meter, kanan laut depan dan belakang jurang.. woww, cukup membuat aku banyak berdoa! Syukur Alhamdulillah, pesawat mendarat dengan baik dan tidak nyelonong. Ada satu joke yang cukup familiar di Fakfak, dimana kalau pesawat mendarat, semua penumpang akan ikut membantu mengerem. Kok bisa, iya… Karena begitu pesawat landing, kaki kita akan ikut menjejak lantai kabin, saking berdebar melihat runway yang terbatas. Hehehe, ada ada saja, meski ini ternyata benar.

Kota Fakfak adalah kota lama, sejak jaman Belanda. Ada pelabuhan tua yang cukup rapi dan besar, yang disandari banyak kapal perusahaan dan kapal PELNI (Kapal Penumpang), serta kapal rakyat di sebelah pelabuhan utama. Kotga yang cukup indah, yang terkenal dengan hasil rempah rempah berupa cengkeh dan pala. Disini ada satu hotel besar, bernama hotel Grand Papua. Satu satunya bangunan dengan lift di dalamnya, di kota ini. Cukup megah, terdiri dari 4 (empat) lantai dan sekitar 80 kamar. Lumayan enak untuk beristirahat, dengan harga yang standard, mulai dari Rp.450.000 sampai Rp. 1.000.000,-, tergantung kamar yang kita pilih.

Karena tidak ada satupun yang aku kenal di kota ini, langkah pertama yang aku lakukan adalah observasi keliling kota dengan jalan kaki. Akupun melangkah menuju pusat keramaian, Pasar Tumburuni. Pasar Utama di kota Fakfak. Dengan langkah gontai seperti langkah sarjana muda dalam lagunya Iwan Fals, aku datangi segerombolan tukang ojek. Lumayan, cari ojek, cari kenalan dan gali informasi. Gotcha, berkenalan dengan satu tukang Ojek yang cukup muda, dari Jawa bernama Mas Mul, hehehe. Sebungkus rokok, sepiring nasi, segelas kopi dan selembar uang merah bergambar proklamator, sangat membantu dan mempercepat proses orientasi dan penggalian data.

Mas Mul ini masih berusia 24 tahun, berasal dari Sragen Jawa Tengah. Pernah bekerja sebagai penjual kerupuk di Surabaya 5 tahun lalu. Karena bangkrut dia berangkat mengadu nasib di Makassar dan diajak temannya untuk pergi ke Papua, ke Fakfak ini. Dengan sepeda motor lumayan baru keluaran tahun terakhir, kami putar putar ke kota Fakfak, yang mempunyai kontur tanah berbukit bukit. Mulai dari mencari alamat kantor Bupati, mendata kantor kantor pemerintahan, bank, atm, warung makan dan terakhir, iseng iseng masuk ke lokalisasi. Pingin tau aja, bukan yang lain :). Tidak terlalu lama, semua sudah habis kita observasi, dan mendaratlah kami di warung makan khas Solo, yang ternyata kepunyaan saudaranya Mas Mul ini. Di Papua yang terkenal mahal, aku masih bisa makan dengan hanya 17.000,- (tujuh belas ribu rupiah) dengan kenyang dengan rasa nikmat, sayur lodeh, ikan asin dan sambel terasi pedes desss. Ah, priceless!!

Kisah selanjutnya, akan aku ceritakan dalam tulisan berikutnya, tentang kota-kota di Papua Barat.


Tanggapan

  1. Assalamu’alaikum…
    Terimakasih atas tulisannya,,,
    Tulisan yang anda buat sangat bermanfaat dan sangat berbobot…

    Kunjungi blog saya http://abdurrahmanshaleh.wordpress.com/
    kasih komentar dan saran untuk blog saya..
    Terimakasih,,,

    Suka

  2. Ass wr wb..

    Nice Story, tp sampai kapan keluarga ditinggal “Tujuanku ke Papua, adalah untuk memuaskan dahagaku akan petualangan ”

    hanya demi setumpuk Dollar sedangkan membutuhkan sesosok Ayah dan kasih Sayangnya…

    Hah..hhhh semua dah digarisno Mas, sing Penting Selamat & Ditunggu kehadirannya di Sby.. wkwkwkwk

    PEACE & LOVE,

    Salam CROT

    Suka

  3. Oi Don, kamsiah!

    Suka

  4. selamat malam pak iwan,pak saya robert.kebetulan saya kerja diperusahaan sawit juga.boleh saya minta alamat email bapak.terima kasih sebelumnya.

    Suka


Tinggalkan komentar

Kategori